KRONOLOGI PERTEMPURAN 10 NOVEMBER 1945
Belajar Sejarah – Mantapkan Langkah
– Menuju Masa Depan Cerah
09/11/2010
Rekonstruksi Peristiwa Penyobekan
Bendera di Hotel Yamato
Berita akan mendaratnya Tentara
Sekutu tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya dikawatkan pertama oleh Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin dari Jakarta. Dalam berita tersebut menteri
menjelaskan tugas Tentara Sekutu di Indonesia, yaitu mengangkut orang Jepang
yang sudah kalah perang, dan para orang asing yang ditawan pada zaman Jepang.
Menteri berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima baik dan membantu
tugas Tentara Sekutu tersebut.
Sikap politik pemerintah pusat
tersebut sulit diterima rakyat Surabaya pada umumnya. Rakyat Surabaya
mencurigai kedatangan Inggris sebagai usaha membantu mengembalikan kolonialisme
Belanda di Indonesia. Kasus Kolonel P.J.G. Huijer, perwira Tentara Sekutu
berkebangsaan Belanda, menjadi salah satu alasannya kecurigaan itu. Kolonel
P.J.G. Huijer yang datang di Surabaya pertama kali pada tanggal 23 September
sebagai utusan Laksamana Pertama Patterson, Pimpinan Angkatan Laut Sekutu di Asia
Tenggara, ternyata membawa misi rahasia pula dari pimpinan Tertinggi Angkatan
Laut Kerajaan Belanda. Huijer yang bersikap dan bertindak terang-terangan
menentang revolusi Indonesia akhirnya ditangkap dan ditawan di Kalisosok oleh
aparat keamanan Indonesia.
Hari menjelang datangnya tentara
Inggris di Surabaya, Drg. Moesopo yang sementara itu telah mengangkat diri
menjadi Menteri Pertahanan RI, berseru pada rakyat Surabaya, agar bersiap siaga
menghadapi kedatangan pasukan Inggris. Dengan mengendarai mobil terbuka dan
pedang terhunus di tangan, ia berteriak-teriak di sepanjang jalan, menyadarkan
rakyat atas bahaya yang sedang mengancam. Dalam pidato radionya pada malam
harinya, secara khusus Moestopo memperingatkan secara keras pada tentara
Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration, Pemerintah
Penjajahan Belanda atas Indonesia di pengungsian ketika Jepang menduduki
Indonesia, dan merencanakan kembali menjajah Indonesia lagi setelah bubar
perang) ~ diucapkan “Nika” ~ agar mereka jangan mendarat di Surabaya. “Inggris!
Nika! Jangan mendarat! Kalian orang terpelajar! Tahu aturan! Jangan mendarat!
Jangan mendarat!” pidatonya di radio begitu terus.
Beberapa jam setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, dua orang perwira staf Mallaby (komandan pasukan Inggris) menemui Gubernur Soerjo. Utusan Mallaby itu mengundang Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR agar bertemu dengan Mallaby di kapal untuk berunding. Undangan itu ditolak karena sebagai pejabat baru Gubernur Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama. Dalam rapat kilat yang diadakan kemudian, diputuskan untuk memberi mandat kepada Drg. Moestopo pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama Pemerintah Jawa Timur.
Beberapa jam setelah kapal Inggris merapat di Tanjung Perak, dua orang perwira staf Mallaby (komandan pasukan Inggris) menemui Gubernur Soerjo. Utusan Mallaby itu mengundang Gubernur Soerjo dan seorang wakil BKR agar bertemu dengan Mallaby di kapal untuk berunding. Undangan itu ditolak karena sebagai pejabat baru Gubernur Soerjo sedang memimpin rapat kerja pertama. Dalam rapat kilat yang diadakan kemudian, diputuskan untuk memberi mandat kepada Drg. Moestopo pimpinan BKR untuk berunding dengan pihak Inggris dan bertindak atas nama Pemerintah Jawa Timur.
Pertemuan Mallaby dengan Moestopo
yang didampingi dr. Soegiri, pejuang Surabaya yang sangat aktif, Moh. Jasin,
pimpinan Polisi Istimewa serta Bung Tomo, belum menghasilkan kesepakatan.
Perundingan dilanjutkan 26 Oktober esoknya di gedung Kayoon ex gedung Konsulat
Inggris. Pertemuan tersebut dihadiri Residen Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo,
Walikota Radjamin Nasution dan HR Mohammad Mangundiprojo dari TKR (TKR =
Tentara Keamanan Rakyat, resmi dibentuk tanggal 5 Oktober 1945, sebelumnya
bernama BKR, Badan Keamanan Rakyat). Menghasilkan perjanjian, dalam pasukan
Inggris yang mendarat tidak disusupi pasukan Belanda, tercapai bekerjasama
Indonesia-Tentara Sekutu dengan membentuk Kontact Bureau, yang akan dilucuti
senjatanya hanyalah Jepang saja, sedang pengawasan dipegang oleh tentara
Sekutu, dan selanjutnya tentara Jepang itu akan dipindahkan ke luar Jawa.
Sesuai dengan kesepakatan tersebut,
pasukan Inggris diperkenankan menggunakan beberapa gedung penting di kota,
seperti gedung Kayoon digunakan sebagai Markas Brigade 49 (Inggris), gedung HBS
(sekolah kompleks Jl. Wijaya Kusuma), gedung Internatio, Rumah Sakit Darmo
tempat para tawanan perang dan interniran dirawat, masing-masing ditempatkan
satu batalyon pasukan Inggris. Dalam gerakan menduduki tempat yang disetujui
itu Inggris selanjutnya juga menduduki sejumlah tempat strategis di luar
perjanjian, seperti lapangan terbang Tanjung Perak, perusahaan listrik
Gemblongan, Stasiun KA, Kantor Pos Besar, Gedung Studio Radio di Simpang. Lebih
kurangajar lagi, malam itu Moestopo disergap, dipaksa menunjukkan di mana Kolonel
PG Huijer ditawan, yang berakhir dengan penyerbuan pasukan Inggris ke penjara
Kalisosok dan membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan pemuda. Inggris juga
melucuti kesatuan Polisi RI Seksi Bubutan dan Nyamplungan.
Esok harinya, 27 Oktober, pesawat
Inggris menyebarkan pamflet, isinya menuntut dan mengancam, agar rakyat
Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali kepada Inggris senjata dan
peralatan perang mereka yang direbut dari tentara Jepang. Residen Soedirman dan
drg. Moestopo segera memperingatkan Brigjen Mallaby, bahwa isi pamflet itu
jelas bertentangan dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Rupanya
Brigjen Mallaby sendiri juga tak tahu-menahu dengan pamflet yang berasal dari
Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta itu. Tetapi sebagai tentara harus
tunduk pada putusan atasan.
Suasana panas Surabaya mencapai
klimaksnya pada tanggal 28 Oktober 1945. Pada hari itu sekitar jam 17.00, di
Markas Pertahanan Jl. Mawar 10, markas dan sekaligus tempat Studio Radio
Pemberontakan pimpinan Bung Tomo, diselenggarakan pertemuan antara sejumlah
pimpinan pasukan BKR dan pemimpin Badan Perjuangan Bersenjata. Dari pihak BKR
yang hadir HR Mohammad Mangundiprojo, Sutopo dan Katamhadi, ketiganya ex
Daidancho Peta. Dari Badan Perjuangan Bersenjata yang hadir antara lain
Soemarsono dari PRI (markas besarnya di Balai Pemuda), Bung Tomo dari BPRI.
Putusan rapat mereka tidak mentolerir tindakan provokatif tentara Inggris.
Mereka sepakat untuk segera melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris
dengan perhitungan mumpung pasukan Inggris saat itu masih lemah, menduduki
tempat yang terpencar-pencar.
“Om 5 uur begint de Indonesische
opstand!” (Pada jam 05.00 mulailah perlawanan bangsa Indonesia), demikian bunyi
kebulatan tekad mereka.
Sore itu juga, Soemarsono melalui
radio pemberontakan di Jl. Mawar 10 mengumumkan kebulatan tekad tersebut. Dalam
pidato radionya ia antara lain menyatakan bahwa, “Tentara Inggris yang berkedok
sebagai Tentara Sekutu itu sebenarnya adalah tentara penjajah yang membantu
NICA untuk menghancurkan kemerdekaan bangsa Indonesia, karenanya harus
dilawan!” Pidato Soemarsono segera disusul oleh pidato Bung Tomo yang sebagai
orator ulung ia berhasil membakar semangat rakyat Surabaya khususnya dan rakyat
Indonesia umumnya, untuk melawan tentara Inggris dan Belanda.
Sore hari itu Surabaya seperti kota
mati. Jalan-jalan sunyi mencekam, menantikan datangnya badai pertempuran.
Kesatuan TKR, atas perintah Moestopo dan Jososewojo, sejak tengah hari telah
ditarik keluar kota, mempersiapkan lini kedua di Sepanjang mereka akan
melaksanakan perang rahasia dan perang gerilya seperti yang diinstruksikan oleh
Moestopo. Tetapi ketika pada malam harinya pertempuran pecah, mereka bergerak
kembali ke kota.
Malam hari itu, tempat atau gedung
yang diduduki oleh tentara Inggris, dikepung oleh rakyat Surabaya, seperti
ceceran gula pasir dikerubungi semut. Pengepungan berlanjut sampai tiga hari.
Pasukan Inggris yang terkepung, tidak bisa bergerak dari tempatnya, tidak bisa
minta bantuan dari tempat lain, kehabisan peluru, air dan makanan. Bertahan
pasti hancur, keluar tidak mungkin, pasti dihadang oleh rakyat Surabaya
bersenjata sepanjang jalan. Rakyat Surabaya saat itu semangatnya bertempur
berkobar-kobar, tidak perduli senjata apa saja yang bisa digunakan untuk
melawan pasukan Inggris, senpi atau senjam. Bandha nekad! (bonek). Ada yang
baru hari itu memiliki senapan, baru jam itu belajar menembak. Lalu kemaruk
menembakkan senjata apinya. Sampai ada tentara Inggris yang jelas mati terapung
di sungai, tetap saja diberondong peluru untuk latihan menembak tepat sasaran.
Melihat pasukannya tak berkutik akan
hancur, Brigjen Mallaby panik. Dia harus bisa mencegah kehancuran semesta itu.
Harus dicarikan pemimpin Indonesia yang masih dipatuhi oleh rakyat Surabaya.
Siapa? Presiden RI, Bung Karno. Mallaby minta agar Presiden RI didatangkan di
Surabaya. Dengan permintaan itu, tentara Inggris yang semula tidak mengakui
adanya negara Republik Indonesia, jadi mengakui kedaulatan RI. Presiden
Soekarno bersama Wakil Presiden Mohamad Hatta dan Menteri Penerangan Amir
Syarifuddin terbang ke Surabaya 29 Oktober 1945 dengan pesawat RAF. Lapangan
terbang Morokrembangan juga dikepung oleh rakyat Surabaya. Karena sudah tidak
percaya lagi dengan omongan orang Inggris, maka Bung Tomo memerintahkan kalau
yang turun bukan Bung Karno, ditembak mati saja.
Sejak pecahnya pergolakan merebut
senjata Jepang (30 September 1945) dan disusul dengan pendaratan Tentara
Sekutu, Moestopolah orang yang paling menonjol dan memikul tanggung jawab
revolusi di Surabaya. Dialah orang pertama yang berhadapan dan membuat
perjanjian serah-terima kekuasaan sekali gus perlucutan seluruh senjata Jepang
dari Mayor Jendral Iwabe Syigeo selaku Panglima AD Jepang di Jawa Timur di
Gedung HVA, (sekarang Jl. Merak), 30 September 1945. Ketika Tentara Sekutu
mendarat di Surabaya, Moestopo pulalah orang pertama yang menghadapinya.
Kecuali berunding yang menghasilkan keputusan yang sulit, dia juga telah
merasakan pemaksaan yang kontra dengan hasil perjanjian. Moestopo menghadapi
persoalan yang dilematis, yaitu menghadapi tekanan dari dua kubu yang saling
bertentangan. Tekanan pertama adalah pesan dari Pemerintah Pusat RI di Jakarta,
yang meminta kepadanya, demi kepentingan politik, agar menerima dengan baik kedatangan
Tentara Sekutu di Surabaya. Sedangkan tekanan kedua adalah datang dari rakyat
Surabaya, yang cenderung menentang pendaratan Tentara Sekutu di Surabaya. Di
mata pemuda Surabaya, Inggris dan Belanda adalah dua negara Sekutu yang
sama-sama imperialis, karenanya mereka mencurigai Inggris bersekongkol dengan
Belanda untuk mengembalikan penjajahan di Indonesia. Tekanan mental lebih berat
ketika Inggris pada 28 Oktober mengultimatum agar rakyat Surabaya menyerahkan
kembali senjata yang telah diperolehnya dari Jepang.
Menanggapi ultimatum itu Moestopo memerintahkan kepada BKR/TKR untuk segera bergerak ke luar kota. Sesuai dengan perintah Moestopo (pemimpin TKR Jatim), Jonosewojo (pemimpin TKR Karesidenan Surabaya) memindahkan pasukannya ke selatan, ke Darmo dan kemudian ke Ketegan di luar kota, tapi kemudian kembali masuk lagi ke Gunungsari. Banyak pihak yang tak setuju dengan taktik Moestopo tersebut. Bahkan Soengkono, pemimpin BKR Kota Surabaya, tetap bertahan di Kota Surabaya. Soengkono tetap menyebut kesatuannya BKR Kota Surabaya, bukan TKR.
Menanggapi ultimatum itu Moestopo memerintahkan kepada BKR/TKR untuk segera bergerak ke luar kota. Sesuai dengan perintah Moestopo (pemimpin TKR Jatim), Jonosewojo (pemimpin TKR Karesidenan Surabaya) memindahkan pasukannya ke selatan, ke Darmo dan kemudian ke Ketegan di luar kota, tapi kemudian kembali masuk lagi ke Gunungsari. Banyak pihak yang tak setuju dengan taktik Moestopo tersebut. Bahkan Soengkono, pemimpin BKR Kota Surabaya, tetap bertahan di Kota Surabaya. Soengkono tetap menyebut kesatuannya BKR Kota Surabaya, bukan TKR.
Akibat kelelahan fisik yang
berkepanjangan dan tekanan mental yang berat, pada malam 28 Oktober Moestopo
menderita mental break down. Perbuatannya aneh. Malam itu Moestopo menanggalkan
pakaian seragam militernya dan menggantinya dengan pakaian rakyat, berbaju dan
bercelana panjang hitam gaya Madura, berselempangkan sarung dan mengenakan ikat
kepala. Dengan penyamarannya itu Moestopo mau melaksanakan konsep strategi
perangnya yang dalam bahasa Jerpang disebut Himizhu Zensosen dan Singei-se,
artinya perang rahasia dan perang gerilya kota. Setelah mengadakan rapat di
markasnya di gedung HVA, Moestopo kemudian bergerak ke luar kota. Ia
mengendarai mobil bersama Sudibyo, mahasiswa kedokteran gigi. (Selain jadi
Daidanco PETA di Gresik, Moestopo juga jadi dosen pada Fakultas Kedokteran Gigi
= Shika Daigakku Surabaya, karena itu banyak sekali mahasiswanya yang terlibat
dalam perjuangan kemerdekaan di Surabaya ini). Di tengah perjalanan ia mampir
dahulu ke Markas PRI (Balai Pemuda), untuk menjelaskan rencana perannya dan
mengajak para pemuda PRI meninggalkan kota, sebab Inggris akan melucuti senjata
mereka, ujarnya.
Di Wonocolo, Moestopo bertemu dengan
dua orang wartawan Surabaya, Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi, kedua wartawan
itu lalu diajak turut serta memeriksa kesiapan perang di sekitar Surabaya.
Mereka berempat mengendarai mobil sedan hitam de Soto, dengan Moestopo sendiri yang mengemudikannya. Di tengah malam buta itu Moestopo mengebut melalui jalan pedesaan menuju Sidoarjo dan kemudian bermaksud menuju Gresik dengan melewati jalan Sidoarjo-Krian-Balungbendo-Mojokerto. Di setiap pos penjagaan, bila kendaraan Moestopo disetop untuk diperiksa ia kadang-kadang menjelaskan identitas dirinya, bukan saja sebagai pimpinan TKR dan Menteri Pertahanan RI, tetapi juga menyebut dirinya sebagai “Ratu Adil”.
Mereka berempat mengendarai mobil sedan hitam de Soto, dengan Moestopo sendiri yang mengemudikannya. Di tengah malam buta itu Moestopo mengebut melalui jalan pedesaan menuju Sidoarjo dan kemudian bermaksud menuju Gresik dengan melewati jalan Sidoarjo-Krian-Balungbendo-Mojokerto. Di setiap pos penjagaan, bila kendaraan Moestopo disetop untuk diperiksa ia kadang-kadang menjelaskan identitas dirinya, bukan saja sebagai pimpinan TKR dan Menteri Pertahanan RI, tetapi juga menyebut dirinya sebagai “Ratu Adil”.
Sekitar jam 02.00 tengah malam,
mereka tiba di Markasnya Marhadi, komandan BKR/TKR di Mojokerto. Karena
kecapekan, di tempat tersebut mereka langsung jatuh tertidur. Di saat mereka
tidur lelap itulah mendadak mereka disergap oleh satu kesatuan bersenjata yang
tak dikenal. Mereka termasuk Moestopo, dengan tangan diborgol dinaikkan truk,
lalu dibawa ke bekas Pabrik Gula Brangkal. Esok harinya barulah mereka tahu,
bahwa yang menawan mereka itu adalah anak buah Mayor Sabarudin, PTKR Sidoarjo.
Hari itu mereka dijemput sendiri oleh Mayor Sabarudin, dan dengan mata tertutup
mereka lalu dibawa ke markas Sabarudin di Sidoarjo.
Di tempat terpisah Sabarudin menemui
Wiwiek Hidayat dan Suleimanhadi. Sabarudin mengatakan, bahwa kedua wartawan itu
boleh bebas kembali ke Surabaya, tetapi bersama itu ia mengancam, dengan pistol
dimain-mainkan di tangan, agar mereka jangan sampai membocorkan rahasia
ditawannya Moestopo tersebut. Bila sampai bocor, mereka bersama keluarganya
akan dihabisi.
Kepada Moestopo Sabarudin berterus
terang bahwa dia diperintahkan oleh atasannya untuk menangkap dan membunuh
Moestopo. Tetapi karena di masa Peta dahulu selaku anak buah Moestopo ia pernah
diselamatkan jiwanya dari kekejaman Jepang, maka ia tak akan membunuh Moestopo.
Kisah tentang diri Sabarudin ini
sungguh sangat menarik. Yang dimaksud atasannya, mungkin sekali Jonosewoyo,
karena Sidoarjo adalah kekuasaan pemimpin TKR Karesidenan Surabaya, Jonosewojo.
Apalagi kemudian hari, ketika terjadi perebutan jabatan militer di Jawa Timur
antara Jonosewoyo dengan HR Mohamad Mangundiprojo, Sabarudin membela
mati-matian Jonosewojo, menculik dan membantai HR Mohamad dari Jogja sampai di
Kertosono (peristiwa 1946). Sabarudin juga terkenal kejam, memancung leher
bekas saingannya ex-chudancho Soerjo secara terbuka di alun-alun Sidoarjo.
Ex-chudancho Soerjo waktu itu jadi staf keuangan TKR Jatim pimpinan Moestopo.
Dua hari ditawan Sabarudin, pada
tanggal 30 Oktober dengan dikawal oleh Kapten Hamidun, Kepala Stafnya
Sabarudin, Moestopo diantarkan menghadiri rapat pertemuan dengan Presiden
Soekarno di Gubernuran Surabaya yang dihadiri oleh Bung Hatta dan para pejabat
tinggi di Surabaya. Waktu itu seruan berhenti tembak-menembak sudah disiarkan.
Bung Hatta menganggap Moestopo sebagai biang kerok pergolakan bersenjata
melawan Tentara Sekutu di Surabaya. Oleh Presiden Moestopo mulai saat itu
dipensiun dan selanjutnya diangkat menjadi Penasihat Agung Presiden RI. Dengan
begitu berakhirlah peran Moestopo selaku pimpinan tertinggi TKR di Jawa Timur.
Secara hirarkhis, orang kedua Urusan Angkatan Darat, HR Mohamad Mangundiprojo
menggantikan kedudukan Moestopo, bersama Soengkono mewakili TKR dalam forum
perundingan dengan pihak Inggris. Moestopo yang membikin gara-gara pergolakan
pertempuran tiga hari (28, 29, 30 Oktober 1945) yang arek-arek Surabaya bisa
melumpuhkan pasukan Inggris, tetapi Moestopo sendiri tidak ikut bertempur,
karena ditawan oleh Sabarudin. Buntut pertempuran tiga hari adalah tewasnya Mallaby
yang berlanjut dengan pertempuran 10 November 1945 yang hasilnya Indonesia
Merdeka akibat gigihnya perlawanan bersenjata, tetapi Moestopo juga tidak
terlibat pertempuran karena sudah dipensiun. Ini salah satu gambaran bahwa
potensi lokal menjadi tak berdaya karena beda pandang dengan pusat
pemerintahan.
Setelah Mayor Jendral D. Hawthorn,
Panglima Tentara Sekutu di Indonesia tiba di Surabaya hari itu (30 Oktober),
maka perundingan dengan pihak Inggris dilanjutkan lagi di Gubernuran Surabaya.
Hadir dalam perundingan itu selain Presiden, Wakil Presiden dan Menteri
Penerangan RI, juga para tokoh pimpinan Surabaya seperti Gubernur Soerjo,
Residen Soedirman, Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, HR Mohamad, Soengkono,
Atmadji, Soemarsono dan Bung Tomo.
Perundingan tersebut menghasilkan
persetujuan, inti isinya adalah Inggris membatalkan perintah untuk melucuti
senjata TKR dan pemuda, Inggris mengakui status TKR, Tentera Sekutu akan
ditarik dari gedung-gedung yang diduduki, dan akan terpusat di Tanjung Perak
dan kamp tawanan perang di Darmo, Daerah pelabuhan Tanjung Perak akan dijaga
Tentara Sekutu dan TKR, Hubungan antara Darmo dan Tanjung Perak harus terjamin
aman untuk mengangkuti tawanan (truknya pasukan Inggris), Kedua pihak
mempertukarkan para tawanan, Dibentuk badan penghubung (Kontak Biro) antara
Tentera Sekutu dan penguasa Surabaya. Susunan anggota Kontak Biro pihak
Indonesia: Residen Soedirman, Doel Arnowo (KNI), Roeslan Abdulgani (KNI), HR
Mohamad Mangundiprojo (TKR), Soengkono (BKR), Armadji (TKR Laut), Soejono
(Polisi RI), Kusnandar (PRI), TD Kundan (penterjemah). Pihak Inggris: Brigjen
A.W.Mallaby, Kolonel L.H.O.Pugh, Mayor M.Hobson, Kapten H.Shaw, dan Wing
Comander Groom.
Setelah dicapainya persetujuan tadi,
rombongan presiden dan Mayjen Hawthorn, siang itu juga (30 Oktober) kembali ke
Jakarta, sedang anggota Kontak Biro melanjutkan rapat di kantor Gubernuran
hingga jam 16.00. Karena di beberapa tempat masih terjadi tembak-menembak,
Kontak Biro memutuskan untuk mengadakan perjalanan keliling guna menghentikan
pihak-pihak yang masih saling menembak. Rombongan mengendarai sejumlah mobil
disertai sebuah mobil polisi RI sebagai pengawal di mukanya. Perjalanan Kontak
Biro sampai di gedung Internatio, di Jembatan Merah. Tembak-menembak bisa
dihentikan setelah Mallaby bicara dengan komandan pasukan Inggris di depan
gedung (tidak masuk gedung). Ketika rombongan meninggalkan gedung, matahari
mulai terbenam, sampai di mulut Jembatan Merah, rakyat Surabaya tetap minta
supaya tentara Inggris di gedung Internatio meninggalkan gedung. Maka dikirim
utusan ke gedung, menyeberangi lapangan segi tiga. Dari pihak Inggris Kapten
Shaw, pihak RI HR. Mohamad Mangundiprojo serta penterjemah TD Kundan. Brigjen
Mallaby tetap menunggu di mobil hitam yang dikendarai oleh Residen Soedirman di
mulut Jembatan Merah. Ketika utusan beberapa menit masuk ke gedung, terdengar
tembakan dari dalam gedung. Maka ramailah kembali tembak-menembak antara rakyat
Surabaya yang masih mengurung gedung dengan pihak Inggris yang di dalam gedung.
Terkena hujan peluru, para anggota Kontak Biro Indonesia lari tunggang langgang
meninggalkan tempat, ada yang menceburkan diri ke sungai, mencari selamat.
Keesokan harinya tersiar kabar bahwa
Brigjen Mallaby tewas tertembak di dalam mobil hitam. Tewasnya seorang brigadir
jendral di kancah pertempuran di Surabaya, tentulah tidak direlakan begitu saja
oleh Pasukan Inggris. Tentu akan ada pembalasan. Maka pada tanggal 3 November
1945 dikirimkanlah satu divisi lebih bantuan pasukan Inggris didaratkan di
Surabaya lengkap dengan panser, tank, meriam dan pesawat terbangnya. Sebagai
panglima pasukan yang baru di Surabaya adalah Mayor Jendral Mansergh. Tanggal 7
November, Mansergh mengundang Gubernur Soerjo, memperkenalkan diri di
Bataviaweg (Jalan Jakarta). Sikap Mansergh kaku, sombong, ucapannya
terang-terangan menyalahkan dan menghina para pemimpin Indonesia. Langsung
membacakan surat yang diterjemahkan oleh TD Kundan. Jelas sekali kedatangan
Mansergh untuk membalas dendam. Esok harinya 8 November, Gubernur Soerjo
kembali menerima sepucuk surat dari Mayjen Mansergh, yang lebih serius menuduh
pimpinan Surabaya tidak mampu menepati janji persetujuannya, maka tentaranya
(Inggris) akan memasuki Surabaya dan sekitarnya, demikian juga daerah lain Jawa
Timur untuk melucuti “gerombolan yang tidak mengenal aturan tertib hukum”.
Dalam surat jawabannya tertanggal 9
November 1945 Gubernur Soerjo membantah segala tuduhan Mansergh itu. Juga
dijelaskan persetujuan antara Mayjen Hawthorn dan Soekarno, batas-batas di mana
pasukan Inggris boleh berada, yang justru dilanggar oleh Inggris. Surat itu
diantarkan sendiri oleh Roeslan Abdulgani dan Kundan di markas Jl. Jakarta.
Anehnya, begitu surat dibaca, Mansergh langsung menyerahkan dua buah dokumen,
sebagai jawaban yang rupanya jauh-jauh hari telah disiapkan. Dokumen pertama
adalah sebuah ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya dan satunya adalah
sebuah surat penjelasan kepada R. Soerjo tertanggal 9 November 1945. Inti surat
ultimatum tersebut adalah, agar semua pemimpin Indonesia termasuk pemimpin
gerakan pemuda, kepala polisi dan petugas studio Radio Surabaya harus
melaporkan diri di Bataviaweg menjelang jam 18.00 tanggal 9 November 1945.
Mereka harus mendekat dengan berbaris satu per satu dengan membawa senjata yang
dimilikinya. Senjata itu harus diletakkan dalam jarak 100 yard dari tempat
pertemuan dan kemudian mereka semua harus mendekat dengan kedua tangan
diletakkan di atas kepala, selanjutnya semua akan ditangkap dan ditawan. Mereka
harus menandatangi dokumen menyerah tanpa syarat.
Sikap rakyat Surabaya atas ultimatum
itu dicerminkan oleh pidato radio Gubernur Soejo hari itu juga (9 November)
pada tengah malam jam 23.00. Antara lain ia berkata, “….berulang-ulang telah
kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah
kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan
memegang teguh sikap ini. Kita tetep menolak ultimaum itu!”
Maka pagi hari tanggal 10 November
1945, Kota Surabaya digempur oleh pasukan Mansergh dari darat, laut dan udara.
*Suparto Brata, saksi dan pemerhati
sejarah 10 November 1945 di Surabaya.
Tidak ada pertempuran yang
dilancarkan Republik yang dapat disebandingkan dengan pertempuran Surabaya itu,
baik dalam keberanian maupun kegigihannya (David Welch dalam Birth of
Indonesia, hal. 67)
23 September 1945
Kapten Huijer dari Angkatan Laut
Belanda adalah wakil sekutu pertama yang menjejakan kakinya di Surabaya untuk
melakukan pemeriksaan pendahuluan dan ini mengindikasikan bahwa Belanda-lah
yang akan mempelopori pengambil-alihan Surabaya dari Jepang setelah
‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris ketika mengambil alih Semarang.
28 September 1945
Huijer mendatangi markas Laksamana
Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Surabaya, agar
melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk senjata yang berada di bawah komando
dirinya kepada Huijer. Namun demikian sebagaimana sikap kaigun yang lain
(seperti Laksamana Maeda di Jakarta), Shibata sangat simpati dengan perjuangan
kemerdekaan Indonesia oleh karena itu ia menyerahkan senjata kepada Komite
Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya) yang dipimpin oleh Soedirman dan
Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji akan menyerahkannya kepada sekutu
pada waktunya.
Tetapi KNI-Surabaya tidak memiliki
kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas tentara angkatan laut Jepang
sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR),
kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan milisi/laskar yang
masih belum terorganisir dengan baik.
1 Oktober 1945
Terjadi perkelahian diantara
pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda yang dengan cepat berubah menjadi aksi
massa di seluruh kota. Mereka menyerang lapangan udara Morokrembangan dan kamp
interniran yang terletak di daerah pemukiman Darmo. Sementara itu markas
Kempetai dan Angkatan Darat Jepang dikepung oleh sejumlah laskar yang
bersenjatakan apa adanya, dari bambu runcing hingga ke senapan mesin.
4 Oktober 1945
Surabaya telah menjadi kamp
bersenjata yang seluruhnya dalam tangan Indonesia. Semua penjara dibuka dan
penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas tuduhan politik atau pidana
telah bergabung ke dalam massa yang berkerumun di dalam kota itu. Pada hari itu
juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa Huijer-lah yang bertanggung
jawab atas keamanan kota tersebut.
8 Oktober 1945
Gubernur, TKR dan polisi
berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang kemudian seluruhnya terseret
menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang dan Belanda yang begitu
mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka melaksanakan pengadilan rakyat
yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati para tawanan (Jepang, khususnya)
dengan melakukan hukuman mati dengan cara pemenggalan leher.
Kapten Huijer pun menjadi tahanan
TKR demi keselamatan dirinya.
12 Oktober 1945
Tiba seorang pemuda dari Jakarta
yang bernama Soetomo atau yang kemudian dikenal dengan nama Bung Tomo, seorang
wartawan yang bekerja di kantor berita Domei. Ia membawa gagasan mendirikan
pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio Pemberontakan” sebagai sarana
untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda.
13 Oktober 1945
Bung Tomo membentuk Barisan
Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai suatu organisasi yang terpisah
dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan siaran-siaran radio yang dilakukan
oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil mempengaruhi masyarakat santri yang memang
menjadi mayoritas di Jawa Timur dan Madura, namun juga pemimpin-pemimpin
“merah” terutama yang berada di dalam PRI.
22 Oktober 1945
Nahdhatul Ulama dari seluruh Jawa
dan Madura melangsungkan rapat raksasa di Surabaya yang mana mereka menuntut,
“Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia soepaja menentukan
soeatoe sikap dan tindakan jang njata terhadap tiap2 oesaha jang membahajakan
agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannja”
(Antara, 25 Oktober 1945)
25 Oktober 1945
Inggris mendarat di Tanjung Perak
Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby yang juga merupakan
Panglima Brigade ke-49 dengan tugas utama mengungsikan pasukan Jepang dan para
interniran. Brigade ini berjumlah kurang lebih enam ribu pasukan dengan membawa
juga pasukan elit Gurkha.
Mallaby sendiri dan wakilnya,
Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo, kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji,
bekas aktivis Gerindo, yang mewakili TKR Angkatan Laut. Setelah mengadakan
pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo, Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak
akan menyelundupkan di tengah-tengah mereka pasukan Belanda dan NICA
(Netherland Indies Civil Administrastion).
26 Oktober 1945
Tanpa data intelejen yang
komprehensif tentang kondisi Surabaya dan masyarakatnya yang sedang bergolak,
Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten Shaw untuk
menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat Surabaya mulai kehilangan kepercayaan
terhadap Mallaby dan pasukannya.
Kondisi diperparah dengan selebaran
yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di Surabaya atas perintah Mayor
Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta. Selebaran itu intinya berisi bahwa
pihak Indonesia harus menyerahkan seluruh senjata mereka dalam waktu 48 jam.
Tuntutan seperti ini akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dilakukan oleh
Mallaby dan Moestopo.
27 Oktober 1945
Sekutu mulai melakukan agresinya.
Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih memandang rendah terhadap
kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu
membanggakan brigade 49-nya dengan mendapatkan julukan “The Fighting Cock”
selama bertempur melawan Jepang di hutan-hutan Burma.
28 Oktober 1945
Pasukan sekutu mengambil alih
lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung penting seperti kantor
jawatan kereta api, pusat telephon dan telegraf, rumah sakit Darmo dna lainnya.
Pertempuran besar pun tak terelakan
antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000 tentara dan pemuda Indonesia. Akibat
kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghetikan
pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk
panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.
Begitu terjepitnya hingga dalam buku
Donnison “The Fighting Cock” ditulis “Narrowly escape complete destraction”
alias hampir musnah seluruhnya.
29 Oktober 1945
Soekarno, Hatta dan Amir
Sjarifoedddin datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Kemudian setelah membujuk agar
tentara dan pemuda menghentikan pertempuran, mereka bertiga ditambah
tokoh-tokoh Surabaya seperti Soedirman, Soengkono, Soerjo dan Bung Tomo
melakukan perundingan dengan Mallaby dan Hawthorn. Hasil perundingannya adalah
tentara sekutu sepakat untuk mundur dari Tanjung Perak dan Darmo, sementara
Indonesia setuju mengizinkan interniran lewat secara bebas diantara kedua
sektor itu.
Setelah melakukan perundingan,
Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin kembali ke Jakarta dengan menggunakan
pesawat terbang dan menganggap kekerasan sudah berakhir.
30 Oktober 1945
Sewaktu melakukan patroli, mobil
Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi
Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka
terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu
meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.
Kematian Jenderal Inggris itu
menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat berikutnya.
Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI)
memberikan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia kemudian mengirimkan seluruh
Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya dibawah
pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000 pasukan.
1 November 1945
Kapal perang HMS Sussex muncul di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama minggu berikutnya sekitar 8000
interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.
9 November 1945
Dengan semua para interniran
(sandera) berhasil dibawa pulang, Inggris mulai melakukan aksi balas dendamnya
atas kematian Mallaby. Seperti yang diceritakan Idrus,
“Sedjak beberapa hari sekoetoe
mendaratkan serdadoe2 lebih banyak dan tank-tank raksasa. Tank-tank itu toeroen
dari kapal seperti malaikal maut toeroen dari langit; diam2 dan dirahasiakan
oleh orang jang menoeroenkannja” (Soerabaja, hal. 137)
Mansergh mengeluarkan ultimatum agar
seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 keesokan harinya dan
supaya orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby
diserahkan. Ultimatum itu disebarkan melalui udara ke seluruh kota.
Selain itu Mansergh secara eksplisit
memperingatkan bahwa semua anak-anak dan wanita harus sudah meninggalkan kota
sebelum pukul 19.00 malam itu dan memberikan ancaman hukuman mati bagi setiap
orang Indonesia yang membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10
November 1945.
Mendengar ultimatum itu para
pemimpin Surabaya menelpon Jakarta untuk memperoleh keputusan tingkat nasional
mengenai jawaban apa yang harus diberikan terhadap ultimatum Mansergh. Akan
tetapi, baik Soekarno maupun Soebardjo (Menteri Luar Negeri) menyerahkan
keputusan itu terhadap masyarakat Surabaya.
Jam 6 sore, elemen TKR dan pemuda
menandatangani “Soempah Kebulatan Tekad” yang isinya,
Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD
Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa
Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan
soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas berkorban dengan tekad
MERDEKA atau MATI !!!
Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945
Ttd
(1) TKR Kota
(1) TKR Kota
(2) PRI
(3) BPRI
(4) TKR Sidoardjo
(5) BBI
(6) TKR Laut
(7) TKR Peladjar
(8) P.I.
(9) BBM (Barisan Berani
Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11) TKR Djombang
(12) dll
Dan setelah melakukan diskusi yang
cukup panjang dengan seluruh elemen yang ada di Surabaya, pada jam 23.00 malam
Gubernur Soerjo mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan
melawan sampai titik darah penghabisan.
10 November 1945
Pada pukul 06.00 Inggris memulai
serangannya, sementara itu Bung Tomo memanggil seluruh rakyat melawan
penyerbu-penyerbu itu. Pemboman besar-besaran dari laut dan udara membinasakan
sebagian besar Surabaya. Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga
kota.
Surat kabar Times di London
mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, HMS
Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito,
15.000 personel dari divisi 5 dan 6000 personel dari brigade 49 The Fighting
Cock.
David Welch menggambarkan
pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66),
“Di pusat kota pertempuran adalah
lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu
lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing
bergelimangan di selokan-selokan. Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga,
kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran
menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong.
Perlawanan Indonesia berlangsung
dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang
yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan
kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti
dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”
Pertempuran berlangsung dengan ganas
selama 3 minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ke
tangan sekutu. Para pejuang Indonesia yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi
yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis
pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.
Menurut Ricklefs (2008) sedikitnya
ada 6000 rakyat Indonesia yang gugur. Meski pihak republik kehilangan banyak
tentara dan pemuda, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut
telah menciptakan lambang dan pekik persatuan demi revolusi.
Pustaka :
(1) Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan. Irna H.N. Grasindo. 1994.
(2) Revolusi Pemuda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
(3) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(4) http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November
(1) Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan. Irna H.N. Grasindo. 1994.
(2) Revolusi Pemuda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
(3) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(4) http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November
Like Loading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar